Bukan Sandiwara Belaka
Sepertinya
dunia kita sedang berputar kembali seperti jam pasir yang menarik kembali
dirinya untuk jatuh dan habis masanya. Anehnya dulu aku tidak tahu apa-apa.
Hanya bisa menikmati udara yang kadang menusuk hingga terasa tulang punggungku
pegal tak terkira. “Hipotermia” kadang menjadi musuh bebuyutanku sejak dulu,
sampai akhirnya aku menemukan kamu sebagai alasan aku ingin pandanganku terus
membaik.
Dulu aku hanya menikmati
bayanganmu sekilas. Memperhatikan karya Tuhan yang luar biasa untuk di kagumi.
Aku sedang mempelajari umatnya yang sedang melintas di depanku saat itu.
Menggertakkan gigiku sendiri. Menyumpahi kamu yang sedang berjalan di
depanku. Kenyataan saat itu ternyata ada kerikil kecil yang entah mengapa
melihatmu saja aku bisa salah tingkah.
Aku berdiri diantara barisanku.
Kamu seperti remote control yang dikemudikan tanpa henti, berteriak kian
kemari. Pandanganmu tajam siap menembus apa saja yang menghalangi jalanmu. Aku
mencoba menghentikan diriku sendiri yang tidak berjalan seperti alur cerita
sebenarnya yang harus aku lakukan dan tidak untuk mengulang kembali, tapi aku
tidak bisa.
Kini
aku berjalan bersama kamu. Menikmati alur cerita yang kita buat sendiri.
Dulunya aku yang hanya bisa kaku menatapmu bergerilya atas hentakan tajam
raungan suaramu. Aku bisa memegang janjiku. Aku memainkan peranku sendiri. Aku
bersama kamu di panggung sandiwara ini. Menikmati permainan sang sutradara.
Dulunya
menoleh saja aku tidak minat dan berani. Sekarang aku puas melihatmu berlaga di
panggungmu sendiri. Kau menikmati setiap alur cerita ini dan aku bisa merasakan
itu. Dibalik topeng yang menutupi setengah wajahku, aku menahan tawa dan senyum
yang hampir saja meledak setiap kamu berjalan bahkan menoleh ke arahku. Aku
pikir aku mulai tidak waras, bisa saja yang kamu lihat bukan aku.
Kamu
memantapkan aksimu berlaga di depan penonton dan aku salah satu penikmat aksimu
di panggung ini. Berlagak profesional ketika aku benar-benar memahami kamu
yang sebenarnya. Aku memang berusaha untuk tetap pada jalanku saat ini, namun
ketika arus begitu derasnya untuk kembali ke kamu. Aku bisa apa?
Meskipun
seseorang bahkan lebih baik dari kamu datang dan yang kusadari bahwa kamu hanya
satu dan selamanya akan tetap seperti itu. Tidak ada yang bisa menirukannya,
meskipun itu terlihat sama tetapi akan terasa berbeda. Sampai aku menyadari
sesuatu. Kamu mulai melupakan aku.
Saat
ini yang kutahu kamu sedang bersama dengan yang lain, tidak ada yang salah dari itu
karena aku tahu. Kamu dan aku sama-sama tidak bisa berharap banyak karena jalur
hidup ini begitu susah untuk dipersatukan dalam ruang yang sama. Kita berada
pada kotak yang berbeda, bahkan tidak aku sadari ada ruang yang memaksakan kita
untuk berada dijalur masing-masing. Sampai maut memang menjemput kembali dan sang pencipta
meruntuhkannya sendiri. Saat itu aku tahu, tidak ada harapan untuk itu.
Aku
berterimakasih karena sudah pernah mencoba meskipun sama-sama memiliki sesuatu
untuk diutarakan, namun tetap saja kita harus berhenti disini. Karena untuk
terlalu jauh kita tempuh terlalu banyak juga hujan batu yang akan membunuh.
Sampai saat aku dan kamu memutuskan jalan itu, aku berjanji pada diriku sendiri
untuk membantumu menjauh dari aku yang tidak bisa diharapkan ini. Pergilah
dengan cerita yang baru. Aku tetap berada pada jalanku yang menuntun kamu untuk
keluar dari zona terlarang ini. Ketika aku merasa sakit saat terjatuh aku
mengingat bahwa kamu juga sedang berusaha yang terbaik untuk kita. Aku berusaha merengkuh kamu dalam doaku agar kamu tetap berdiri dan tidak menoleh padaku, meskipun sakit nantinya tetaplah
dijalan itu dan jangan pernah merasa kasihan padaku.
Komentar
Posting Komentar